Total Tayangan Halaman

Jumat, 25 November 2011

Koperasi dan Kooperativisme


Koperasi merupakan suatu lembaga sosial-ekonomi guna menolong diri sendiri secara bersama-sama yang tujuan utamanya yaitu tercapainya kesejahteraan anggota. Pengelolaan didalam koperasi sangat berbeda dengan pengelolaan bentuk usaha lain seperti Perseroan Terbatas (PT), Firma, maupun Persekutuan Komanditer (CV). Hal ini dikarenakan adanya identitas koperasi dimana pemilik merupakan anggota dan juga pelanggan. Oleh karena itu, terlihat secara jelas apabila kita menjadi anggota koperasi dan sering menggunakan jasa koperasi tersebut maka pengembalian kepada kita dari keuntungan koperasi atau yang disebut sebagai SHU (Sisa Hasil Usaha) juga akan besar, sehingga dapat dikatakan bahwa koperasi tidak mencari laba dari anggota karena hasil keuntungannya akan dibagikan lagi kepada anggotanya.
Koperasi dianggap berhasil mencapai tujuannya apabila mengaplikasikan prinsip-prinsip koperasi yang diawali perumusannya oleh Rochdale, ICA (International Cooperative Alliance), dan prinsip koperasi di Indonesia yang menggunakan UU koperasi No.25 tahun 1992. Pada dasarnya semua nilai dalam prinsip-prinsip tersebut sama saja, akan tetapi untuk menyesuaikan perkembangan zaman maka perlu ditambah beberapa prinsip baru sehingga tetap mampu mencapai kesejahteraan anggotanya. Salah satu prinsip koperasi sebagai bentuk penghormatan kepada setiap individu yaitu ‘one man one vote’ yang menggambarkan koperasi bukanlah kumpulan modal sebagaimana terjadi pada bentuk usaha PT.
Dalam menghadapi arus globalisasi ternyata koperasi mampu menunjukkan perannya. Perkembangan koperasi di dunia menunjukkan kemajuan pesat dimana banyak koperasi yang sukses menjalankan usahanya, bahkan ICA selalu memberikan peringkat data 300 koperasi terbaik dunia dimana data terakhir yang dirilis ICA tahun 2008 menempatkan  koperasi Tine BA (Norwegia) sebagai peringkat pertama. Sayangnya, koperasi-koperasi di Indonesia belum ada yang bisa masuk daftar tersebut dikarenakan belum memenuhi persyaratan. Salah satu persyaratannya memiliki omzet mencapai 700 ribu US Dollar atau enam miliar rupiah pertahunnya.
Sebenarnya bentuk usaha koperasi tidak asing lagi didalam sistem perundang-undangan Republik Indonesia. Betapa tidak, pasal 33 UUD 1945 menjelaskan koperasi sebagai sokoguru perekonomian Indonesia yang seharusnya. Pasal 33 jelas berbunyi “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasarkan atas asas kekeluargaan”. Artinya, perekonomian negara ini yang terdiri atas badan usaha koperasi, badan usaha milik negara, dan badan usaha milik swasta harus disusun dengan asas kekeluargaan demi kepentingan bersama. Disinilah peran negara untuk mendesain, menata, dan nerestrukturisasi perekonomian sehingga bukan fundamentalisme pasar yang berlaku, karena jika diserahkan kepada pasar akan membesarkan jurang pemisah antara si-kaya dan si-miskin sehingga pemerataan sulit dicapai. Oleh karena itulah kini saatnya kita menggerakkan koperasi kembali (koperasi yang murni) sesuai dengan prinsip-prinsipnya dengan cara menjadi anggota koperasi tentunya, karena menawarkan umpan balik kepada setiap anggotanya guna mencapai kesejahteraan anggota keseluruhan.

Jumat, 18 November 2011

POKOK-POKOK EVOLUSI KAPITALISME BESERTA PERKEMBANGAN TEORI-TEORINYA


Latar Belakang Sejarah

Masyarakat dunia khususnya orang-orang barat mulai memberikan perhatiannya mengenai permasalahan pembangunan ekonomi terutama setelah seorang ekonom asal Skotlandia, Adam Smith mengeluarkan bukunya “An Inquiry into The Nature and Causes of The Wealth of Nations” di tahun 1776 yang kini menjadi pedoman banyak kalangan ekonom dalam menata perekonomian dunia. Dalam buku tersebut kurang lebih menelaah mengenai penyebab kemakmuran bangsa-bangsa. Hal ini tentu membuat sedikit pencerahan kedepannya bagi negara-negara berkembang baru merdeka yang membutuhkan solusi guna melakukan pembangunan ekonomi dinegaranya masing-masing. Akan tetapi kemudian perhatian dari pihak barat memudar dikarenakan bangsa Eropa sedang mengalami masa-masa kemakmuran yang panjang. Beberapa abad kemudian sekitar awal abad ke-20 dimana kolonialisme dan imperialisme tumbuh subur diberbagai kawasan dunia, membuat hal tersebut menjadi suatu kebutuhan untuk mempelajari perekonomian di negara jajahan karena permasalahan dan keadaan di negara jajahan berbeda dengan yang ada di negara penjajah (Eropa) yang memang telah maju. Karena perbedaan itulah akhirnya membuat kaum imperialis membuat suatu bidang ilmu baru yaitu “ilmu ekonomi kolonial” atau yang sering disebut “ilmu ekonomi kolonial tropis”. Perkembangan ilmu ekonomi pembangunan mencapai puncaknya setelah Perang Dunia II karena telah diraihnya kemerdekaan oleh negara bekas jajahan barat tersebut. Pemerintah negara terbelakang yang baru merdeka diharuskan mengurus negaranya tersebut guna memperbaiki kondisi pasca kolonialisasi dan menuju perbaikan dari keterbelakangannya. Saat itu pula, permasalahanpun muncul yang tak lain dan tak bukan mengenai bagaimana melaksanakan pembangunan ekonomi. Masalah pembangunan ekonomi ini tidak dapat diatasi oleh pendekatan ilmu ekonomi pembangunan dari kawasan Eropa (kaum penjajah), sehingga memerlukan bidang khusus yang memfokuskan pada masalah-masalah pembangunan di negara sedang berkembang ini, di Indonesia disebut ilmu ekonomi pembangunan. Sayangnya, meskipun objek dari ilmu ini ialah negara sedang berkembang yang baru merdeka, ternyata yang menjadi subjeknya adalah para sarjana-sarjana ekonomi barat juga, sehingga sangat mungkin terjadi perbedaan cara pandang ataupun bias dalam teori pembangunan diakibatkan perbedaan kondisi yang memang sangat berbeda.

Arti Pembangunan dan Teori yang Mendampingi Setiap Era

Pada awalnya ketika diperkenalkan ke permukaan, tepatnya pada dasawarsa limapuluhan hingga pertengahan tahun enampuluhan, pengertian pembangunan disamakan dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi. Hal ini disebabkan kepercayaan masyarakat dengan adanya trickle down effect dimana hasil dari pertumbuhan ekonomi tadi akan menetes ke aspek-aspek dibawahnya yang akan menstimulus perekonomian. Artinya dengan adanya efek tersebut, pertumbuhan ekonomi yang tinggi akan merangsang perekonomian untuk menyediakan lapangan kerja lebih banyak guna peningkatan output yang lebih di tahun berikutnya. Efek ini telah teruji di negara-negara yang kini digolongkan sebagai negara ekonomi maju. Menurut ekonom-ekonom barat, kunci sukses meraih pembangunan yang diidam-idamkan dengan cara meningkatkan pertumbuhan ekonomi secara cepat. Akan tetapi pasti akan terjadi ketimpangan distribusi pendapatan diawal proses ini yang dikatakan wajar oleh ekonom barat tersebut. Hal ini diperkuat oleh penelitian empiris Simon Kuznets yang dikenal sebagai kurva U yang terbalik.
Alasan ini cukup logis, karena untuk merangsang pertumbuhan ekonomi dimulai dengan adanya dana segar untuk berinvestasi. Dana tersebut berasal dari penduduk yang memiliki pendapatan tinggi dimana marginal prospensity to consume (MPC) cenderung rendah sehingga kemiringan kurva saving mulai curam atau tingkat marginal prospensity to saving (MPS) mulai tinggi dikarenakan terjadi peningkatan proporsi tabungan cukup besar dari adanya proporsi kenaikan pendapatan sehingga mereka mampu menyediakan dana tabungan untuk permintaan investasi di pasar dana pinjaman. Kejadian sebaliknya terjadi pada kalangan masyarakat berpenghasilan rendah dimana jika terjadi kenaikan pendapatan, maka proporsi terbesar masih digunakan untuk konsumsi. Implikasinya kemampuan menabung mereka sangat rendah. Intinya, dapat dikatakan apabila makin besar dana permodalan investasi yang dapat dikerahkan, maka makin tinggi tingkat pertumbuhan ekonomi yang mampu dicapai.
Sayangnya, terdapat kritikan terhadap pemikiran diatas, misalnya keadaan di negara yang sedang berkembang sangat berbeda dengan negara maju dimana para pemilik modal di negara berkembang masih mamiliki pola hidup yang konsumtif sehingga sulit mendorong mereka untuk menabung supaya meningkatkan ketersediaan supply dana dalam pasar loanable fund. Hal ini diperparah dengan penyelewengan penerimaan kredit usaha yang digunakan untuk kepentingan pribadi. Selain itu, proses trickle down effect di negara maju umumnya berlangsung lama, sedangkan negara sedang berkembang tidak membutuhkan waktu lama lagi untuk merasakan ketimpangan distribusi pendapatan lebih lama yang tercermin dalam kemiskinan absolut yang makin memperlihatkan eksistensinya dan tidak dapat ditoleransi keberadaannya karena menginjak-injak martabat manusia.
Teori yang menguatkan jika pembangunan ekonomi merupakan dampak dari adanya pertumbuhan ekonomi, dikenal sebagai model pertumbuhan tahapan linear. Salah satu pendukung teori ini ialah W.W Rostow seorang ekonom yang menulis buku “The Stages of Economic Growth, A Non-Communist Manifesto” pada tahun 1960 dimana sub judulnya menyanggah teori yang dikembangkan oleh Karl Marx. Menurut Marx, semua kelompok masyarakat akan mengalami fase-fase sebagai berikut: komunisme primitif (suku), perbudakan, feodalisme, kapitalisme, sosialisme, dan komunisme. Selanjutnya dijelaskan bahwa dalam fase perbudakan, feodalisme, dan kapitalisme sangat potensial terjadi pengisapan dari suatu kelas masyarakat terhadap masyarakat lainnya dimana para tuan akan menindas budak, para tuan akan menindas buruh tani, para pemilik modal akan mengisap kaum buruh. Sedangkan Rostow menjabarkan tahap pertumbuhan ekonomi terdiri atas: masyarakat tradisional, prasarat untuk tinggal landas, tinggal landas, gerak menuju kematangan, dan tingkatan konsumsi masal yang tinggi. Menurut pandangan pihak yang mendukung Marx, komunisme adalah tujuan akhir suatu masyarakat, sedangkan Rostow percaya bahwa sistem kapitalis dapat berkembang terus tanpa harus berubah terlebih dahulu menjadi sosialisme atau komunisme. Melihat sejarahnya, kaum barat setuju dengan pendapat Rostow.
Berbicara mengenai tahap Rostow pertama, masyarakat tradisional artinya kemampuan berproduksi masih sedehana dan memiliki keterbatasan. Kedua, prasyarat tinggal landas dilakukan transformasi dari masyarakat tradisional sehingga mampu memanfaatkan ilmu pengetahuan modern untuk mengatasi hasil produksi yang semakin menurun (diminishing return). Ketiga, tinggal landas dimana hambatan dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi dapat diminimalisir sehingga pertumbuhan ekonomi dapat berlanjut dengan perkiraan proporsi tabungan terhadap pendapatan nasional sekitar 5-10%. Keempat, gerakan menuju kematangan dengan adanya pertumbuhan terus menerus sekitar 10-20% proporsi tabungan terhadap pendapatan nasional. Terakhir, tingkat konsumsi missal yang tinggi dimana sektor industri utama berubah menjadi sektor produksi barang-barang tahan lama dan jasa.
Beberapa kritik terhadap teori Rostow diantaranya tidak terdapat kriteria yang jelas antara tahap satu dengan tahap lainnya dan Rostow juga kurang secara spesifik menjelaskan bagaimana suatu tahap dapat beralih ke tahap selanjutnya. Selain itu, tidak menjadi keharusan bagi suatu negara untuk mencapai pertumbuhan ekonomi hanya dengan mengikuti cara kapitalis, misalnya gerakan Ujaama di Kenya, Sosialisme ala Mesir, Sosialisme di Indonesia zaman orde Lama, Indonesia zaman orde Baru juga memilih sistem ekonomi pancasila dengan demokrasi ekonomi sebagai ideologi negara yang mampu mencapai pertumbuhan ekonomi gemilang yang saat itu membuat Indonesia menjelma menjadi salah satu “macan asia”.
Teori selanjutnya diperkenalkan secara terpisah oleh Sir Roy F. Harrod (Inggris) dan Evsey D. Domar (Amerika Serikat) tetapi inti teori keduanya ialah sama. Teori ini menerangkan suatu model sederhana mengenai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi yaitu pentingnya investasi. Hal ini disebabkan investasi akan meningkatkan stok barang modal yang akan meningkatkan output. Pertambahan kapasitas barang modal tergantung pada dua faktor, yaitu COR dan investasi. COR adalah capital-output ratio atau rasio modal-produksi. Artinya pertumbuhan ekonomi sama tingkatannya dengan pertambahan investasi, sehingga: ΔY/Y = MPS/COR (dimana MPS ialah marginal prospensity to saving). Misalnya MPS= 0,2 dan COR= 4 maka tingkat pertumbuhan ekonomi adalah 0,2/4 = 5%. Untuk mampu melakukan investasi, perekonomian harus menyisihkan outputnya sebagai tabungan. Dengan demikian tabungan merupakan unsur penting dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena merupakan sumber investasi. Keterbatasan teori ini untuk diaplikasikan di negara sedang berkembang tentu mengenai bagaimana cara menyisikan tabungan untuk investasi, sehingga untuk tetap mencapai pertumbuhan ekonomi yang diinginkan dapat melalui pinjaman luar negeri atau bantuan keuangan secara besar-besaran.
Setelah mengikuti anjuran pihak barat dimana pembangunan ekonomi hanya melihat sisi pertumbuhan ekonomi semata, banyak negara sedang berkembang mampu meraihnya. Akan tetapi, ternyata dibalik itu semua masih banyak permasalahan yang timbul dari pesatnya pertumbuhan ekonomi yang diperoleh, diantaranya: tingkat pengangguran yang tinggi, ketimpangan pendapatan yang makin memisahkan golongan kaya dan miskin, tingginya angka kemiskinan absolut, tingkat pendidikan yang rendah, serta tingkat kesehatan yang kurang memadai. Oleh karena itu, banyak kalangan yang tidak mempercayai adanya trickle down effect yang menjadi acuan pihak barat dalam mendefinisikan pembangunan ekonomi. Akhirnya di era tahun tujuhpuluhan terjadi perombakan besar dalam pendefinisian pembangunan ekonomi. Todaro mendefinisikan pembangunan ekonomi tidak cukup hanya pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat, akan tetapi harus didukung pula oleh perubahan multidimensional yang mencakup perubahan-perubahan besar dalam struktur sosial, sikap masyarakat, kelembagaan nasional, pengurangan jurang pemisah antara si miskin dan si kaya, dan yang terpenting penghapusan kemiskinan mutlak. Disamping itu perlunya pengurangan pengangguran, penyediaan sarana dan prasarana pendidikan dan kesehatan yang memadai.
Teori pendukung masa ini yaitu model perubahan struktural oleh W. Arthur Lewis yang memusatkan perhatiannya pada transformasi struktural dimana terjadi pembagian dua sektor produksi dalam suatu negara yang terdiri dari sektor tradisional (desa agraris) dan sektor industri (perkotaan). Ia melihat adanya ketimpangan persebaran tenaga kerja dimana sekitar 80-90% tenaga kerja terdapat di pedesaan (sektor agraris). Sehinga terjadi surplus tenaga kerja di pedesaan. Artinya tambahan pekerja sampai melebihi jumlah tertentu (setelah total product maksimum) di sektor agraris tidak akan mengurangi total produksi setelah mencapai maksimum (marginal product of labor tidak bernilai negatif). Hal ini disebabkan supply of labor adalah elastis sempurna, karena begitu banyaknya pekerja di sektor agraris. Untuk melakukan transformasi pekerja dari desa ke kota harus dibuat suatu insentif melalui penyediaan gaji yang lebih tinggi daripada gaji di desa (misalnya sekitar 30% lebih tinggi), sehingga menarik pekerja untuk bekerja di kota. Kaum kapitalis di kota juga menerima keuntungan penjualan produknya atas peningkatan pekerja dari arus urbanisasi tersebut, sehingga diasumsikan semua bagian dari keuntungannya untuk meningkatkan modal usaha yang membutuhkan lebih banyak tenaga kerja. Oleh karena itu arus pekerja dari desa ke kota makin meningkat tetapi karena asumsinya elastis sempurna maka peningkatan demand of labor tidak meningkatkan gaji yang diberikan. Kejadian ini terus terjadi hingga seluruh surplus tenaga kerja habis (berpindah ke kota), sehingga mampu menghidupkan sektor industri negara dengan tidak mengorbankan sektor agrarisnya.
Kekurangan teori ini terlihat dari lemahnya asumsi mengenai reinvestasi keuntungan oleh kapitalis kota, karena sangat mungkin jika keuntungan meningkat akan cenderung membuat kapitalis membeli barang modal canggih yang tidak memerlukan tambahan tenaga kerja. Selain itu faktanya banyak pekerja urban tidak memperoleh pekerjaan di kota, serta asumsi Lewis mengenai pasar yang kompetitif padahal nyatanya dalam kehidupan sulit ditemukan pasar seperti itu (hanya pemikiran kaum utopis).
Teori kedua yang mendukung era ini yaitu, model revolusi ketergantungan internasional yang terbagi atas tiga pemikiran. Pertama, model keuntungan neoklasikal dimana negara-negara miskin seharusnya mencoba lebih mandiri dan independen dalam upaya pembangunannya. Negara kuat (maju) mampu mendominasi dan memeras negara lemah dalam berbagai cara, faktanya mereka tak ragu menyedot sebagian besar surplus negara-negara yang lemah. Kedua, model paradigma palsu, yaitu aliran yang menganggap keterbelakangan negara-negara dunia ketiga disebabkan kesalahan dan ketidaktepatan saran yang diberikan oleh para pengamat internasional. Meskipun saran tersebut baik, namun tidak sesuai dengan keadaan di negara berkembang sehingga tidak dapat diaplikasikan. Ketiga, model pembangunan dualistik yang mengelompokkan dunia atas negara-negara kaya dan miskin.
Memasuki dekade awal 1980-an, dunia dihadirkan kembali oleh teori kontraevolusi neoklasik yang seakan-akan menyegarkan ingatan kita bersama kepada teori klasik pembangunan yang dahulu mencapai masa keemasannya. Persamaannya antara dua teori tersebut mengenai kepercayaannya terhadap fundamental pasar dimana mereka mengagung-agungkan pasar demi terciptanya keseimbangan pertumbuhan ekonomi. Teori ini dikemas dengan membiarkan adanya pasar bebas beroperasi secara penuh ditunjukkan dengan swastanisasi perusahaan pemerintah, promosi perdagangan bebas, pengembangan ekspor, menarik investasi asing, dan menghapus regulasi pemerintah yang berlebihan sehingga efisiensi serta pembangunan ekonomi akan mencapai optimal.
Selain teori-teori yang sudah dijelaskan sebelumnya, terdapat teori lain yang dikatakan sebagai model pembangunan kontemporer yang berfokus pada pentingnya investasi komplementaris dan koordinasi yang tepat serta peran pemerintah dalam melakukan intervensi kebijakan. Teori yang berkembang di akhir 1980-an ini tetap mementingkan aspek tabungan terhadap investasi modal manusia untuk mempercepat pertumbuhan. Menurut teori neoklasik, rasio modal-tenaga kerja yang rendah pada negara-negara berkembang menjanjikan tingkat pengembalian investasi yang luar biasa tinggi. Akan tetapi, potensi tersebut berkurang dengan cepat dikarenakan rendahnya tingkat investasi komplementer berupa sumber daya manusia (pendidikan), infrastruktur, atau riset dan pengembangan (R&D). Namun hal tersebut dapat diinternalisasi melalui penyediaan barang-barang publik (infrastruktur) oleh pemerintah serta mendorong investasi swasta dalam industri-industri yang padat pengetahuan (knowledge intensive industry) dimana sumber daya manusia dapat diakumulasi dan akhirnya tercipta skala hasil yang makin meningkat (increasing return to scale) tentu membalikkan asumsi neoklasik yang menjelaskan adanya skala hasil yang semakin menurun (decreasing return to scale). Model skala hasil meningkat ini dijelaskan secara matematis oleh Romer. Sayangnya, teori ini lagi-lagi memiliki kelemahan asumsi yang berasal dari ajaran neoklasik dimana seringkali teorinya tidak cocok dengan keadaan perekonomian negara berkembang. Pertumbuhan ekonomi di negara berkembang sering terhambat oleh inefisiensi yang timbul karena infrastruktur yang kurang memadai, tidak adanya struktur kelembagaan yang baik, serta pasar modal dan pasar barang yang tidak sempurna. Struktur kelembagaan buruk menjadi cerminan atas gagalnya koordinasi dalam menciptakan pembangunan ekonomi. Untuk memperbaiki kondisi, peran pemerintah dapat manjadi alternatif dalam menanggulangi inefisiensi yang terjadi dengan catatan pemerintah melaksanakan kebijakan yang tepat, bukan berlandaskan kepentingan pribadi beberapa pihak serta menjauhkan dari tindakan korupsi. Hal ini akan menjadi lebih realistis dikala sistem demokrasi yang kini mulai berjalan diharapkan menjadi tonggak baru bagi panduan kebijakan yang lebih efektif dari tahun-tahun sebelumnya. Namun, pada sistem demokrasi pun pemerintah bisa gagal sehingga intervensi pemerintah sebisa mungkin dilakukan secara terbatas menurut pandangan ini.
Perkembangan teori pembangunan ekonomi yang telah berlangsung dari beberapa dekade lalu hingga saat ini memperlihatkan perkembangan pemikiran-pemikiran luar biasa dari para ekonom dunia sebagai bentuk kepedulian mereka untuk membangun dunia kearah yang lebih baik yakni dengan merealisasikan pembangunan ekonomi di negara berkembang (terbelakang) supaya jurang pemisah antara negara maju dan negara berkembang dapat diminimalisasi. Benang merah yang dapat ditarik ternyata menunjukkan bahwa perkembangan kapitalisme pembangunan telah berkembang menjadi kapitalisme pasar yang selalu ingin mencapai pertumbuhan ekonomi dengan membebaskan kepada mekanisme pasar dengan investasi sebagai kunci utama, lalu menjadi kapitalisme negara ditandai dengan dominannya pengaruh negara untuk mencoba mentransformasi perekonomiannya dari perekonomian pertanian subsisten tradisional menuju perekonmian industri serta meminimalisir pemikiran barat yang dianggap bias terhadap kondisi di negara berkembang yang tentunya tidak dapat diaplikasikan, dan akhirnya teori-teori kembali lagi manjadi kapitalisme pasar seperti saat ini yang pro terhadap fundamental pasar dimana peran pemerintah harus dikurangi dalam melakukan intervensi dalam perekonomian. Akan tetapi, tidak menutup kemungkinan seiring berjalannya waktu bahwa perkembangan ekonomi pembangunan akan terus mencari teori yang makin tepat sesuai dengan keadaan negara-negara berkembang, seperti yang dikatakan oleh Daniel W. Bromley “… masyarakat Dunia Ketiga akan mulai menyelami pengalaman untuk secara berani menciptakan kembali suatu sistem ekonomi dengan cara melengkapi sistem ekonomi pasar dengan suatu ekonomi jasa-jasa, dengan cara mengoreksi berbagai indeks parsial dan deseptif seperti halnya produk nasional bruto, dengan menggunakan berbagai indeks tentang kesejahteraan masyatakat, hal mana memerlukan adanya reformasi institusional…”.

Daftar Pustaka:

Deliarnov, Perkembangan Pemikiran Ekonomi, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003)
Lembaga Olimpiade Pendidikan Indonesia, Langkah Sukses Menuju Olimpiade Ekonomi, (Jakarta: Bina Prestasi Insani, 2007)
Swasono, Sri Edi, Ekspose Ekonomika: Mewaspadai Globalisasi dan Pasar Bebas, (Jakarta: 2003)
Tarmidi, Lepi T., Ekonomi Pembangunan, (Jakarta: Pusat Antar Universitas-Studi Ekonomi Universitas Indonesia, 1992)
Todaro, Michael P dan Smith, Stephen C, Economic Development, 9 Edition (United Kingdom: Pearson Education Limited, 2006)